MAKALAH PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
“TEORI BELAJAR
BEHAVIORISME”
KELOMPOK 4
AINUN JARIAH (1447040001)
ASMAWATI TRIPUTRI (1447040014)
NURUL ULFAYANI (1447040008)
IRMAWATI A. (1247442030)
KELAS M 3.1
PRODI : PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan
Kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat serta dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. makalah ini dibuat sebagai penunjang kegiatan perkuliahan pada mata
kuliah pendidikan kewarganegaraan.
Terimakasih yang sebesar-besarnya kami hanturkan kepada dosen pembimbing mata kuliah pendidikan kewarganegaraan yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah dan taklupa pula kami ucapkan terimakasih kepada teman-teman dan semua pihak yang telah member
sumbangan pemikiran dalam penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari, makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman yang sifatnya membangun
demi kesempurnaan makalah kami . Akhir kata, semoga makalah ini dapat diterima dan dapat member manfaat bagi pihak
yang membutuhkan.
Makassar, Oktober 2015
Kelompok 4
DAFTAR ISI
Halaman Judul…………………………………………………………… i
Kata Pengantar…………………………………………………………… ii
Daftar Isi………………………………………………………………… iii
Bab I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………… 2
1.3 Tujuan Penulisan…………………………………………………. 2
1.4 Manfaat Penulisan………………………………………………… 2
Bab II ISI
2.1 Pengertian Teori Belajar Behaviorisme…………………………… 3
2.2 Kelebihan Teori Belajar Behaviorisme…………………………… 8
2.3 Kekurangan Teori Belajar Behaviorisme………………………… 9
2.4 Implementasi Teori Belajar Behaviorisme………………………. 9
Bab III PENUTUP
3.1 Kesimpulan……………………………………………………… 15
3.2 Saran…………………………………………………………….. 15
Daftar Pustaka……………………………………………………………. 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
“ Living is Learning”, merupakan sepenggal kalimat yang
dikemukakan oleh Havighurst (1953). Dengan kalimat tersebut memberikan gambaran
bahwa belajar merupakan hal yang sangat penting, sehingga tidaklah mengherankan
bahwa banyak orang ataupun ahli yang membicarakan masalah belajar. Hampir semua
pengetahuan, sikap, ketrampilan, perilaku manusia dibentuk, diubah dan
berkembang melalui belajar. Kegiatan belajar dapat berlangsung dimana dan kapan
saja. Di rumah, di sekolah, di pasar, di toko, di masyarakat luas, pagi, sore
dan malam. Karena itu, belajar merupakan masalah bagi setiap manusia. Oleh
sebab itu dibutuhkan cara belajar yang tepat untuk menghasilkan perubahan sikap
yang baik pula.
Banyak
teori tentang belajar yang telah berkembang mulai abad ke 19 sampai sekarang
ini. Pada awal abad ke-19 teori belajar yang berkembang pesat dan memberi
banyak sumbangan terhadap para ahli psikologi adalah teori belajar tingkah laku
(behaviorisme) yang awal mulanya dikembangkan oleh psikolog Rusia Ivan Pavlov
(tahun 1900-an) dengan teorinya yang dikenal dengan istilah pengkondisian
klasik (classical conditioning) dan kemudian teori belajar tingkah laku
ini dikembangkan oleh beberapa ahli psikologi yang lain seperti Edward Thorndike,
B.F Skinner dan Gestalt. Teori belajar behaviorisme ini berorientasi pada hasil
yang dapat diukur dan diamati. Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya
perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari
penerapan teori behaviorisme ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang
diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku
yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau Penilaian
didasari atas perilaku yang tampak. Dalam teori belajar ini guru tidak banyak
memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh
baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah:
1)
Jelaskan definisi
teori belajar behaviorisme menurut L.Bloomfield dan Skinner?
2)
Apakah kelebihan
teori belajar behaviorisme?
3)
Jelaskan pula kekurangan
teori belajar behaviorisme?
4)
Bagaimanakah implementasi
teori belajar behaviorisme?
1.3 Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1)
Untuk mengetahui
konsep teori belajar behaviorisme menurut L.Bloomfield dan Skinner.
2)
Untuk memberikan
pengetahuan atau pemahaman tentang kelebihan dan kekurangan dari teori belajar
behaviorisme.
3) Untuk mengetahui implementasi teori belajar behaviorisme.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan
makalah ini adalah
1)
Mahasiswa/pelajar
dapat mengetahui konsep teori belajar behaviorisme menurut L.Bloomfield dan
Skinner.
2)
Memberikan wadah
pembelajaran bagi mahasiswa/pelajar.
3)
Mahasiswa/pelajar
lebih terampil dalam mengimplementasikan teori belajar behaviorisme.
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Teori Belajar Behaviorisme
A. Teori
Belajar menurut Skinner
Menurut
pandangan B. F. Skinner (1958), belajar merupakan suatu proses atau penyesuaian
tingkah laku yang berlangsung secara progressif. Pengertian belajar ialah suatu
perubahan dalam kemungkinan atau peluang terjadinya respons. Skinner
berpendapat bahwa ganjaran merupakan salah satu unsur yang penting dalam proses
belajar, tetapi istilahnya perlu diganti dengan penguatan. Ganjaran adalah
sesuatu yang menggembirakan, sedangkan penguatan adalah sesuatu yang
mengakibatkan meningkatkatnya suatu respon tertentu. Penguatan tidak selalu
berupa hal yang menggembirakan, tetapi dapat terjadi sebaliknya.
Penguatan
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negatif.
Penguatan positif adalah sesuatu yang cenderung meningkatkan pengulangan
tingkah laku, sedangkan penguatan negatif adalah sesuatu yang jika dihapuskan
cenderung menguatkan tingkah laku. Sebagai contoh penguatan positif adalah
memberikan pujian terhadap siswa yang dapat menyelesaikan tugas dengan baik,
atau menunjukkan raut muka cemberut kepada siswa yang tidak dapat menyelesaikan
tugas. Pujian dan raut muka cemberut tadi merupakan penguatan positif karena
akan mendorong siswa belajar lebih giat lagi. Pada saat guru bercerita tentang
kisah seorang petani melerai anak-anaknya (kakak beradik) yang sedang
bertengkar, para siswa mendengarkan dengan serius. Saat itu ada beberapa siswa
di luar kelas sedang ramai bergurau sehingga mengganggu perhatian siswa yang
serius mendengarkan cerita guru tadi. Guru berhenti cerita dan keluar sebentar,
tak lama kemudian siswa yang bergurau tadi diam dan pergi menjauhi kelas. Guru
meneruskan cerita, siswa dapat lebih konsentrasi mengikuti jalan cerita yang
disampaikan guru tersebut. Menghilangkan suara gaduh di luar kelas itu
merupakan salah satu contoh penguatan negatif.
Skinner
membedakan respon menjadi dua macam, yaitu respondent conditioning dan operant
conditioning. Respondent conditioning adalah respon yang diperoleh
dari beberapa stimulus yang teridentifikasi, dan respon tersebut bersifat
relatif tetap. Sebagai contoh, seorang siswa diberi soal sederhana dan siswa
dapat menyelesaikannya sendiri. Dengan peristiwa ini, siswa merasa yakin atas
kemampuannya, sehingga timbul respon mempelajari hal-hal berikutnya yang sesuai
atau kelanjutan dari apa yang dapat dia selesaikan tadi. Dalam hal ini, Hudoyo
(1990) menyatakan bahwa stimulus berupa masalah itu dapat diibaratkan sebagai
makanan yang dapat menimbulkan keluarnya air liur. Hudoyo (1990) selanjutnya
mengatakan bahwa stimulus yang demikian pada umumnya mendahului respon yang
ditimbulkan. Belajar dengan respondent conditioning ini hanya efektif
jika suatu respon timbul karena kehadiran stimulus tertentu.
Seorang
siswa belajar dengan sunguh-sungguh sehingga saat ulangan dia bisa
menyelesaikan hampir semua soal yang diberikan sehingga mendapatkan nilai yang
bagus. Dengan nilai yang bagus ini dia merasa sangat senang dan dalam hatinya
ia berniat untuk belajar lebih giat lagi. Dalam hal ini, nilai yang bagus itu
merupakan operant coditioning. Jadi operant conditioning adalah
suatu respon terhadap lingkungannya yang diikuti oleh stimulus-stimulus
tertentu.
Teori
Skinner sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan, khususnya dalam lapangan
metodologi dan teknologi pembelajaran. Program- program inovatif dalam bidang
pengajaran sebagian besar disusun berdasarkan teori Skinner (Sudjana dan Rivai,
2003). Dengan demikian teori belajar menurut Skinner hampir sama dengan teori
yang sampaikan Thorndike, hanya istilah ganjaran perlu diganti dengan
penguatan, yang dibedakan menjadi dua yaitu penguatan positip dan penguatan
negatif.
B.
Teori
Belajar menurut L. Bloomfield
L.Bloomfield mengemukan bahwa hasil belajar didasarkan
pada tujuan/hasil belajar. Klasifikasi kemampuan hasil belajar (Bloom) adalah
sebagai berikut:
1.
Ranah Kognitif
2.
Ranah Psikomotor
3.
Ranah Afektif
Kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia
menerima pengalaman belajarnya.
1. Ranah
kognitif : kemampuan berpikir, kompetensi memperoleh pengetahuan, pengenalan,
pemahaman, konseptualisasi, penentuan dan penalaran.
2.
Ranah psikomotor : kompetensi melakukan
pekerjaan dengan melibatkan anggota badan; kompetensi yang berkaitan dengan
gerak fisik.
3. Ranah
afektif : berkaitan dengan perasaan, emosi, sikap, derajat penerimaan atau
penolakan terhadap suatu obyek.
4.
Ranah Kognitif (menurut taksonomi Bloom) : pengetahuan (C1), pemahaman (C2), aplikasi
(C3), analisis(C4), sintesis (C5), dan evaluasi (C6).
Tingkatan Taksonomi
Belajar menurut Bloom. Tingkatan tersebut adalah :
a) Pada tingkat pengetahuan: peserta
didik menjawab pertanyaan berdasarkan hapalan saja. (Soal pengetahuan : soal
yang menuntut jawaban yang berdasarkan hafalan).
b) Pada tingkat pemahaman: peserta didik
dituntut untuk menyatakan masalah dengan kata-katanya sendiri, memberi contoh
suatu prinsip atau konsep. (Soal pemahaman : soal yang menuntut pembuatan
pernyataan masalah dengan kata-kata penjawab sendiri, pemberian contoh prinsip
atau contoh konsep).
c) Pada tingkat aplikasi: peserta didik
dituntut untuk menerapkan prinsip dan konsep dalam suatu situasi yang baru.
(Soal aplikasi : soal yang menuntut penerapan prinsip dan konsep dalam situasi
yang belum pernah diberikan).
d) Pada tingkat analisis: peserta didik
diminta untuk menguraikan informasi ke dalam beberapa bagian, menemukan asumsi,
membedakan fakta dan pendapat, dan menemukan hubungan sebab dan akibat. (Soal
analisis : soal yang menuntut uraian informatif, penemuan asumsi pembedaan
antara fakta dan pendapat, dan penemuan sebab akibat).
e) Pada tingkat sintesis: peserta didik
dituntut menghasilkan suatu cerita, komposisi, hipotesis, atau teorinya
sendiri, dan mengsintesiskan pengetahuan. (Soal sintesis : soal yang menuntut
pembuatan cerita, karangan, hipotesis dengan memadukan berbagai pengetahuan
atau ilmu).
f)
Pada
tingkat evaluasi: peserta didik mengevaluasi informasi, seperti bukti
sejarah, editorial, teori-teori, dan termasuk di dalamnya melakukan judgement terhadap hasil analisis
untuk membuat kebijakan. (Soal tingkat evaluasi : soal yang menuntut pembuatan
keputusan dan kebijakan , dan penentuan “nilai” informasi) .
Belajar
menurut aliran behaviorisme adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat
dari interaksi antara stimulus dan respons. Proses belajar sebagai perubahan
perilaku yang dapat diamati dan timbul sebagai hasil pengalaman. Para ahli yang
banyak berkarya dalam aliran behaviorisme, antara lain yang terkenal adalah
teori Connectonism dari Thorndike, teori Classical Conditioning dari
Pavlov, dan teori Operant Conditioning dari Skinner.
1) Teori Connectonism
Teori
ini dikemukakan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949). Menurut Thorndike,
belajar merupakan proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa
pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respon (yang mungkin berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan) baik yang bersifatkonkret (dapat diamati) maupun yang
non konkret (tidak bisa diamati). Teori ini juga disebut trial and error learning,
Sebab hubungan yang terbentuk antara stimulus dan respons tersebut timbul
melalui proses trial and error, yaitu suatu upaya mencoba berbagai respons
untuk mencapai stimulus meski bekali-kali mengalami kegagalan. Thorndike juga
membuat rumusan hukum belajar, yaitu: law of readiness (hukum kesiapan),
law of exercise (hukum latihan), dan law of effect (hukum efek).
2) Teori Classical
Conditioning
Teori
ini dikemukakan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), melalui percobaannya yaitu anjing
yang diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada anjing.
Hal tersebut yntuk mengetahui bagaimana refleks bersyarat terbentuk dengan
adanya hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned
stimulus (UCS), dan conditioned respons (CR). Penelitian Pavlov dikembangkan
oleh John B. Watson bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks
atau respon-respon bersyarat melalui stimulus pengganti.
Menurut Watson, manusia
dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi-reaksi emosional berupa takut,
cinta dan marah. Semua tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan-hubungan
stimulus respon baru melalui conditioning.
3) Teori Operant
Conditioning
Teori
ini dikemukakan oleh BF. Skinner (1930-an) Skinner menganggap reward atau
reinforcement faktor terpenting dalam proses pembelajaran. Menurut
Skinner, perilaku terbentuk oleh konsekuensi yang ditimbulkannya. Apabila konsekuensinya
menyenangkan (positive reinforcement) akan membuat perilaku yang sama akan
diulangi lagi, sebaliknya bila konsekuensi tidak menyenangkan (negative
reinforcement) akan membuat perilaku untuk dihindari. Dalam pembelajaran, operant
conditioning menjamin respon-respon terhadap stimulus. Guru berperan
penting dalam mengontrol dan mengarahkan kegiatan belajar ke arah tercapainya
tujuan yang telah dirumuskan.
2.2 Kelebihan Teori Belajar Behaviorisme
1)
Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada
situasi dan kondisi belajar.
2)
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk memperoleh
kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur
seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleksi, daya tahan, dan
sebagainya.
3)
Guru tidak banyak memberikan ceramah sehingga murid
dibiasakan belajar mandiri. Jika menemukan kesulitan baru ditanyakan kepada
guru yang bersangkutan
4)
Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak
yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa , suka mengulangi dan harus
dibiasakan , suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung
seperti diberi permen atau pujian.
5)
Mampu membentuk suatu perilaku yang diinginkan
mendapatkan penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat
penghargaan negatif, yang didasari pada perilaku yang tampak.
6)
Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang kontinue
dapat mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk
sebelumnya. Jika anak sudah mahir dalam satu bidang tertentu maka akan lebih
dapat dikuatkan lagi dengan pembiasaan dan pengulangan yang kontinue tersebut
dan lebih optimal.
7) Bahan
pelajaran yang disusun secara hierarkis dari yang sederhana sampai pada yang
kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang
ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu mampu menghasilkan sustu
perilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu.
2.3 Kekurangan Teori Belajar Behaviorisme
1)
Sebuah konsekuensi bagi guru, untuk menyusun bahan
pelajaran dalam bentuk yang sudah siap.
2)
Tidak setiap mata pelajaran bisa menggunakan metode
ini.
3)
Penerapan teori behavioristik yang salah dalam suatu
situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang
sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral, bersikap
otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa
yang harus dipelajari murid.
4)
Murid berperan sebagai pendengar dalam proses
pembelajaran dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara
belajar yang efektif.
5)
Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para
tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk
menertibkan siswa
6)
Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar dan
sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru.
7)
Penerapan teori behavioristik yang salah dalam suatu
kondisi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang
sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral bersikap
otoriter, komunikasi berlangsung satu arah guru melatih dan menetukan apa yang
harus dipelajari murid sehingga dapat menekan kreatifitas siswa.
8) Murid hanya
mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan meghafalkan apa yang didengar
dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif sehingga inisiatif siswa
terhadap suatu permasalahan yang muncul secara temporer tidak bisa diselesaikan
oleh siswa.
2.4 Implementasi Teori Belajar Behaviorisme
A. Aplikasi Teori Behaviorisme
dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar
pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan
pembelajaran hingga kini adalah aliran behaviorisme. Aliran ini menekankan pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behaviorisme
dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan
metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila
diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behaviorisme dalam kegiatan
pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat
materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran
yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behaviorisme
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of
knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran
adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses
berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari
proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan
tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap
pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru
itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran,
pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan
penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum
yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses
pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat
diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam
proses evaluasi.
Implikasi dari teori behaviorisme dalam
proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi
pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya
sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau
robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi
yang ada pada diri mereka.
Teori behaviorisme memandang bahwa
pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang
belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih
dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar
atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan
belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai
dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada
di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behaviorisme
ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas
“mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang
sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau
materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi
fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti
urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak
didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan
evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara
terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil
belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara
“benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar
secara individual.
B.
Teori Behaviorisme dalam
Pembelajaran Siswa di Sekolah Dasar.
Dalam menerapkan
teori behaviorisme ada ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:
a) Mementingkan pengaruh lingkungan (faktor eksternal)
b) Mementingkan bagian-bagian
c) Mementingkan peranan reaksi
d) Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui
prosedur stimulus (S) respon (R)
e) Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk
sebelumnya
f) Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan
pengulangan
g) Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang
diinginkan.
Berdasarkan
teori-teori yang sudah dikemukakan, para guru yang menggunakan paradigma
behaviorisme akan menyusun bahan ajar secara matang, sehingga tujuan
pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru
harus memberikan stimulus sebanyak-banyaknya agar siswa melakukan respon
positif, selain itu seorang guru juga harus mampu memilah dan memilih stimulus
yang bisa menyentuh perhatian siswa. Proses penyusunan bahan ajar harus secara
hierarki dari yang paling sederhana sampai pada hal yang kompleks.
Ketika menentukan
tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian
suatu ketrampilan tertentu atau kompetensi dasar (KD), dan indikator-indikator
yang berorientasi pada tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan harus dapat
diukur. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan
supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan
dari penerapan teori behaviorisme ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang
diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku
yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian
didasari atas perilaku yang tampak.
Saran dan kritik
terhadap behaviorisme adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru,
bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan
diukur. Kritik ini sangat tidak berdasar karena penggunaan teori behaviorisme
mempunyai persyartan tertentu sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak
setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini, sehingga kejelian dan kepekaan
guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi behaviorisme.
Dari sekian banyak
metode berdasarkan analisa penulis, maka metode behaviorisme ini paling cocok
untuk diterapkan pada siswa untuk melatih kemampuan-kemampaun yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti : ketangkasan,
kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleksi, daya tahan dan sebagainya,
contohnya: kegiatan olahraga, menggambar, menari, menggunakan komputer,
berenang dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih
anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi
dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan
langsung seperti diberi permen atau pujian.
Pengaplikasian
teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga
mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan
bagi siswa yaitu guru sebagai central, bersikap otoriter, komunikasi
berlangsung satu arah (one way prefic comunication), guru melatih dan
menentukan apa yang harus dipelajari murid. Siswa dipandang pasif , perlu
motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru.
Siswa hanya mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang
didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang
sangat dihindari oleh para tokoh behaviorisme justru dianggap metode yang
paling efektif untuk meningkatkan kompetensi siswa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembelajaran menggunakan teori behaviorisme adalah
pembelajaran yang berkaitan dengan tingkah laku. Menurut teori belajar ini,
seseorang akan dikatakan belajar ketika terjadi perubahan tingkah laku pada
diri seseorang tersebut. Berdasarkan paradigm behaviorisme maka bahan pelajaran
yang disusun oleh guru sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang harus
dikuasai oleh siswa disampaikan utuh oleh guru.
Penerapan
teori belajar behaviorisme sangat cocok digunakan pada siswa. Hal ini didasari
bahwa penerapan teori ini mampu melatih kemampuan-kemampuan siswa yang
membutuhkan praktek dan pembiasaan seperti pada kegiatan olahraga, menggambar,
menari, menggunakan komputer, berenang,dan sebagainya. Selain itu, teori ini
cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran
orang dewasa.
3.2 Saran
Bagi
Guru:
Metode pembelajaran teori behaviorisme tidaklah diterapkan
untuk semua jenis mata pelajaran. Oleh karena itu, kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan
kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi behaviorisme.
No comments:
Post a Comment