Friday 30 October 2015

MAKALAH PPKN TEORI BELAJAR BEHAVIORISME


MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
“TEORI BELAJAR BEHAVIORISME”



KELOMPOK 4

AINUN JARIAH (1447040001)
ASMAWATI TRIPUTRI (1447040014)
NURUL ULFAYANI (1447040008)
IRMAWATI A. (1247442030)


KELAS M 3.1




PRODI : PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis  panjatkan Kehadirat Allah SWT  yang telah melimpahkan  rahmat serta dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. makalah ini dibuat sebagai penunjang kegiatan perkuliahan pada mata kuliah pendidikan kewarganegaraan.
Terimakasih yang sebesar-besarnya kami hanturkan kepada dosen pembimbing mata kuliah pendidikan kewarganegaraan yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah dan taklupa pula kami ucapkan terimakasih kepada teman-teman dan semua pihak yang telah member sumbangan pemikiran dalam penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari, makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah kami . Akhir kata, semoga makalah ini dapat diterima dan dapat member manfaat bagi pihak yang membutuhkan.  
                                            

Makassar, Oktober 2015      
                                                                                                 Kelompok 4

DAFTAR ISI
Halaman Judul……………………………………………………………    i
Kata Pengantar……………………………………………………………   ii
Daftar Isi…………………………………………………………………     iii
Bab I    PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………  2
1.3 Tujuan Penulisan………………………………………………….   2
1.4 Manfaat Penulisan………………………………………………… 2
Bab II  ISI
2.1 Pengertian Teori Belajar Behaviorisme……………………………  3
2.2 Kelebihan Teori Belajar Behaviorisme……………………………   8
2.3 Kekurangan Teori Belajar Behaviorisme…………………………   9
2.4 Implementasi Teori Belajar Behaviorisme……………………….    9
Bab III  PENUTUP
3.1 Kesimpulan………………………………………………………    15
3.2 Saran……………………………………………………………..    15
Daftar Pustaka…………………………………………………………….   16

 BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
“ Living is Learning”, merupakan sepenggal kalimat yang dikemukakan oleh Havighurst (1953). Dengan kalimat tersebut memberikan gambaran bahwa belajar merupakan hal yang sangat penting, sehingga tidaklah mengherankan bahwa banyak orang ataupun ahli yang membicarakan masalah belajar. Hampir semua pengetahuan, sikap, ketrampilan, perilaku manusia dibentuk, diubah dan berkembang melalui belajar. Kegiatan belajar dapat berlangsung dimana dan kapan saja. Di rumah, di sekolah, di pasar, di toko, di masyarakat luas, pagi, sore dan malam. Karena itu, belajar merupakan masalah bagi setiap manusia. Oleh sebab itu dibutuhkan cara belajar yang tepat untuk menghasilkan perubahan sikap yang baik pula.
Banyak teori tentang belajar yang telah berkembang mulai abad ke 19 sampai sekarang ini. Pada awal abad ke-19 teori belajar yang berkembang pesat dan memberi banyak sumbangan terhadap para ahli psikologi adalah teori belajar tingkah laku (behaviorisme) yang awal mulanya dikembangkan oleh psikolog Rusia Ivan Pavlov (tahun 1900-an) dengan teorinya yang dikenal dengan istilah pengkondisian klasik (classical conditioning) dan kemudian teori belajar tingkah laku ini dikembangkan oleh beberapa ahli psikologi yang lain seperti Edward Thorndike, B.F Skinner dan Gestalt. Teori belajar behaviorisme ini berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behaviorisme ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau Penilaian didasari atas perilaku yang tampak. Dalam teori belajar ini guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah:
1)    Jelaskan definisi teori belajar behaviorisme menurut L.Bloomfield dan Skinner?
2)    Apakah kelebihan teori belajar behaviorisme?
3)    Jelaskan pula kekurangan teori belajar behaviorisme?
4)    Bagaimanakah implementasi teori belajar behaviorisme?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1)   Untuk mengetahui konsep teori belajar behaviorisme menurut L.Bloomfield dan Skinner.
2)   Untuk memberikan pengetahuan atau pemahaman tentang kelebihan dan kekurangan dari teori belajar behaviorisme.
3)   Untuk mengetahui implementasi teori belajar behaviorisme.
1.4 Manfaat Penulisan                           
Manfaat penulisan makalah ini adalah
1)      Mahasiswa/pelajar dapat mengetahui konsep teori belajar behaviorisme menurut L.Bloomfield dan Skinner.
2)      Memberikan wadah pembelajaran bagi mahasiswa/pelajar.
3)      Mahasiswa/pelajar lebih terampil dalam mengimplementasikan teori belajar behaviorisme.




BAB II
ISI
2.1 Pengertian Teori Belajar Behaviorisme
A.    Teori Belajar menurut Skinner
Menurut pandangan B. F. Skinner (1958), belajar merupakan suatu proses atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progressif. Pengertian belajar ialah suatu perubahan dalam kemungkinan atau peluang terjadinya respons. Skinner berpendapat bahwa ganjaran merupakan salah satu unsur yang penting dalam proses belajar, tetapi istilahnya perlu diganti dengan penguatan. Ganjaran adalah sesuatu yang menggembirakan, sedangkan penguatan adalah sesuatu yang mengakibatkan meningkatkatnya suatu respon tertentu. Penguatan tidak selalu berupa hal yang menggembirakan, tetapi dapat terjadi sebaliknya.
Penguatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif adalah sesuatu yang cenderung meningkatkan pengulangan tingkah laku, sedangkan penguatan negatif adalah sesuatu yang jika dihapuskan cenderung menguatkan tingkah laku. Sebagai contoh penguatan positif adalah memberikan pujian terhadap siswa yang dapat menyelesaikan tugas dengan baik, atau menunjukkan raut muka cemberut kepada siswa yang tidak dapat menyelesaikan tugas. Pujian dan raut muka cemberut tadi merupakan penguatan positif karena akan mendorong siswa belajar lebih giat lagi. Pada saat guru bercerita tentang kisah seorang petani melerai anak-anaknya (kakak beradik) yang sedang bertengkar, para siswa mendengarkan dengan serius. Saat itu ada beberapa siswa di luar kelas sedang ramai bergurau sehingga mengganggu perhatian siswa yang serius mendengarkan cerita guru tadi. Guru berhenti cerita dan keluar sebentar, tak lama kemudian siswa yang bergurau tadi diam dan pergi menjauhi kelas. Guru meneruskan cerita, siswa dapat lebih konsentrasi mengikuti jalan cerita yang disampaikan guru tersebut. Menghilangkan suara gaduh di luar kelas itu merupakan salah satu contoh penguatan negatif.
Skinner membedakan respon menjadi dua macam, yaitu respondent conditioning dan operant conditioning. Respondent conditioning adalah respon yang diperoleh dari beberapa stimulus yang teridentifikasi, dan respon tersebut bersifat relatif tetap. Sebagai contoh, seorang siswa diberi soal sederhana dan siswa dapat menyelesaikannya sendiri. Dengan peristiwa ini, siswa merasa yakin atas kemampuannya, sehingga timbul respon mempelajari hal-hal berikutnya yang sesuai atau kelanjutan dari apa yang dapat dia selesaikan tadi. Dalam hal ini, Hudoyo (1990) menyatakan bahwa stimulus berupa masalah itu dapat diibaratkan sebagai makanan yang dapat menimbulkan keluarnya air liur. Hudoyo (1990) selanjutnya mengatakan bahwa stimulus yang demikian pada umumnya mendahului respon yang ditimbulkan. Belajar dengan respondent conditioning ini hanya efektif jika suatu respon timbul karena kehadiran stimulus tertentu.
Seorang siswa belajar dengan sunguh-sungguh sehingga saat ulangan dia bisa menyelesaikan hampir semua soal yang diberikan sehingga mendapatkan nilai yang bagus. Dengan nilai yang bagus ini dia merasa sangat senang dan dalam hatinya ia berniat untuk belajar lebih giat lagi. Dalam hal ini, nilai yang bagus itu merupakan operant coditioning. Jadi operant conditioning adalah suatu respon terhadap lingkungannya yang diikuti oleh stimulus-stimulus tertentu.
Teori Skinner sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan, khususnya dalam lapangan metodologi dan teknologi pembelajaran. Program- program inovatif dalam bidang pengajaran sebagian besar disusun berdasarkan teori Skinner (Sudjana dan Rivai, 2003). Dengan demikian teori belajar menurut Skinner hampir sama dengan teori yang sampaikan Thorndike, hanya istilah ganjaran perlu diganti dengan penguatan, yang dibedakan menjadi dua yaitu penguatan positip dan penguatan negatif.
B.     Teori Belajar menurut L. Bloomfield
L.Bloomfield mengemukan bahwa hasil belajar didasarkan pada tujuan/hasil belajar. Klasifikasi kemampuan hasil belajar (Bloom) adalah sebagai berikut:
1.         Ranah Kognitif
2.         Ranah Psikomotor
3.         Ranah Afektif
Kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.
1.      Ranah kognitif : kemampuan berpikir, kompetensi memperoleh pengetahuan, pengenalan, pemahaman, konseptualisasi, penentuan dan penalaran.
2.      Ranah psikomotor : kompetensi melakukan pekerjaan dengan melibatkan anggota badan; kompetensi yang berkaitan dengan gerak fisik.
3.      Ranah afektif : berkaitan dengan perasaan, emosi, sikap, derajat penerimaan atau penolakan terhadap suatu obyek.
4.      Ranah Kognitif (menurut taksonomi Bloom) : pengetahuan (C1), pemahaman (C2), aplikasi (C3), analisis(C4), sintesis (C5), dan evaluasi (C6).
Tingkatan Taksonomi Belajar menurut Bloom. Tingkatan tersebut adalah :
a)    Pada tingkat pengetahuan: peserta didik menjawab pertanyaan berdasarkan hapalan saja. (Soal pengetahuan : soal yang menuntut jawaban yang berdasarkan hafalan).
b)   Pada tingkat pemahaman: peserta didik dituntut untuk menyatakan masalah dengan kata-katanya sendiri, memberi contoh suatu prinsip atau konsep. (Soal pemahaman : soal yang menuntut pembuatan pernyataan masalah dengan kata-kata penjawab sendiri, pemberian contoh prinsip atau contoh konsep).
c)    Pada tingkat aplikasi: peserta didik dituntut untuk menerapkan prinsip dan konsep dalam suatu situasi yang baru. (Soal aplikasi : soal yang menuntut penerapan prinsip dan konsep dalam situasi yang belum pernah diberikan). 
d)   Pada tingkat analisis: peserta didik diminta untuk menguraikan informasi ke dalam beberapa bagian, menemukan asumsi, membedakan fakta dan pendapat, dan menemukan hubungan sebab dan akibat. (Soal analisis : soal yang menuntut uraian informatif, penemuan asumsi pembedaan antara fakta dan pendapat, dan penemuan sebab akibat).
e)    Pada tingkat sintesis: peserta didik dituntut menghasilkan suatu cerita, komposisi, hipotesis, atau teorinya sendiri, dan mengsintesiskan pengetahuan. (Soal sintesis : soal yang menuntut pembuatan cerita, karangan, hipotesis dengan memadukan berbagai pengetahuan atau ilmu).
f)    Pada tingkat evaluasi: peserta didik mengevaluasi informasi, seperti bukti sejarah, editorial, teori-teori, dan termasuk di dalamnya melakukan judgement terhadap hasil analisis untuk membuat kebijakan. (Soal tingkat evaluasi : soal yang menuntut pembuatan keputusan dan kebijakan , dan penentuan “nilai” informasi) .
Belajar menurut aliran behaviorisme adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Proses belajar sebagai perubahan perilaku yang dapat diamati dan timbul sebagai hasil pengalaman. Para ahli yang banyak berkarya dalam aliran behaviorisme, antara lain yang terkenal adalah teori Connectonism dari Thorndike, teori Classical Conditioning dari Pavlov, dan teori Operant Conditioning dari Skinner.
1) Teori Connectonism
Teori ini dikemukakan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949). Menurut Thorndike, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respon (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) baik yang bersifatkonkret (dapat diamati) maupun yang non konkret (tidak bisa diamati). Teori ini juga disebut trial and error learning, Sebab hubungan yang terbentuk antara stimulus dan respons tersebut timbul melalui proses trial and error, yaitu suatu upaya mencoba berbagai respons untuk mencapai stimulus meski bekali-kali mengalami kegagalan. Thorndike juga membuat rumusan hukum belajar, yaitu: law of readiness (hukum kesiapan), law of exercise (hukum latihan), dan law of effect (hukum efek).
2) Teori Classical Conditioning
Teori ini dikemukakan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), melalui percobaannya yaitu anjing yang diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada anjing. Hal tersebut yntuk mengetahui bagaimana refleks bersyarat terbentuk dengan adanya hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), dan conditioned respons (CR). Penelitian Pavlov dikembangkan oleh John B. Watson bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau respon-respon bersyarat melalui stimulus pengganti.
Menurut Watson, manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi-reaksi emosional berupa takut, cinta dan marah. Semua tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan-hubungan stimulus respon baru melalui conditioning.
3) Teori Operant Conditioning
Teori ini dikemukakan oleh BF. Skinner (1930-an) Skinner menganggap reward atau reinforcement faktor terpenting dalam proses pembelajaran. Menurut Skinner, perilaku terbentuk oleh konsekuensi yang ditimbulkannya. Apabila konsekuensinya menyenangkan (positive reinforcement) akan membuat perilaku yang sama akan diulangi lagi, sebaliknya bila konsekuensi tidak menyenangkan (negative reinforcement) akan membuat perilaku untuk dihindari. Dalam pembelajaran, operant conditioning menjamin respon-respon terhadap stimulus. Guru berperan penting dalam mengontrol dan mengarahkan kegiatan belajar ke arah tercapainya tujuan yang telah dirumuskan.
2.2 Kelebihan Teori Belajar Behaviorisme
1)      Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi belajar.
2)      Metode behavioristik ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleksi, daya tahan, dan sebagainya.
3)      Guru tidak banyak memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri. Jika menemukan kesulitan baru ditanyakan kepada guru yang bersangkutan
4)      Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa , suka mengulangi dan harus dibiasakan , suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
5)      Mampu membentuk suatu perilaku yang diinginkan mendapatkan penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif, yang didasari pada perilaku yang tampak.
6)      Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang kontinue dapat mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya. Jika anak sudah mahir dalam satu bidang tertentu maka akan lebih dapat dikuatkan lagi dengan pembiasaan dan pengulangan yang kontinue tersebut dan lebih optimal.
7)      Bahan pelajaran yang disusun secara hierarkis dari yang sederhana sampai pada yang kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu mampu menghasilkan sustu perilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu.

2.3 Kekurangan Teori Belajar Behaviorisme
1)      Sebuah konsekuensi bagi guru, untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap.
2)      Tidak setiap mata pelajaran bisa menggunakan metode ini.
3)      Penerapan teori behavioristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid.
4)      Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif.
5)      Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa
6)      Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru.
7)      Penerapan teori behavioristik yang salah dalam suatu kondisi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah guru melatih dan menetukan apa yang harus dipelajari murid sehingga dapat menekan kreatifitas siswa.
8)      Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan meghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif sehingga inisiatif siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul secara temporer tidak bisa diselesaikan oleh siswa.
2.4 Implementasi Teori Belajar Behaviorisme
A.  Aplikasi Teori Behaviorisme dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behaviorisme. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behaviorisme dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behaviorisme dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behaviorisme memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behaviorisme dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Teori behaviorisme memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behaviorisme ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
B.     Teori Behaviorisme dalam Pembelajaran Siswa di Sekolah Dasar.
Dalam menerapkan teori behaviorisme ada ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:
a)      Mementingkan pengaruh lingkungan (faktor eksternal)
b)      Mementingkan bagian-bagian
c)      Mementingkan peranan reaksi
d)     Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus (S) respon (R)
e)      Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya
f)       Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan
g)      Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Berdasarkan teori-teori yang sudah dikemukakan, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan ajar secara matang, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru harus memberikan stimulus sebanyak-banyaknya agar siswa melakukan respon positif, selain itu seorang guru juga harus mampu memilah dan memilih stimulus yang bisa menyentuh perhatian siswa. Proses penyusunan bahan ajar harus secara hierarki dari yang paling sederhana sampai pada hal yang kompleks.
Ketika menentukan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu atau kompetensi dasar (KD), dan indikator-indikator yang berorientasi pada tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan harus dapat diukur. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behaviorisme ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Saran dan kritik terhadap behaviorisme adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. Kritik ini sangat tidak berdasar karena penggunaan teori behaviorisme mempunyai persyartan tertentu sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini, sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi behaviorisme.
Dari sekian banyak metode berdasarkan analisa penulis, maka metode behaviorisme ini paling cocok untuk diterapkan pada siswa untuk melatih kemampuan-kemampaun yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti : ketangkasan, kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleksi, daya tahan dan sebagainya, contohnya: kegiatan olahraga, menggambar, menari, menggunakan komputer, berenang dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Pengaplikasian teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai central, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah (one way prefic comunication), guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Siswa dipandang pasif , perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Siswa hanya mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behaviorisme justru dianggap metode yang paling efektif untuk meningkatkan kompetensi siswa. 

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembelajaran menggunakan teori behaviorisme adalah pembelajaran yang berkaitan dengan tingkah laku. Menurut teori belajar ini, seseorang akan dikatakan belajar ketika terjadi perubahan tingkah laku pada diri seseorang tersebut. Berdasarkan paradigm behaviorisme maka bahan pelajaran yang disusun oleh guru sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai oleh siswa disampaikan utuh oleh guru.
Penerapan teori belajar behaviorisme sangat cocok digunakan pada siswa. Hal ini didasari bahwa penerapan teori ini mampu melatih kemampuan-kemampuan siswa yang membutuhkan praktek dan pembiasaan seperti pada kegiatan olahraga, menggambar, menari, menggunakan komputer, berenang,dan sebagainya. Selain itu, teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa.
3.2 Saran
Bagi Guru:
Metode pembelajaran teori behaviorisme tidaklah diterapkan untuk semua jenis mata pelajaran. Oleh karena itu, kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi behaviorisme.


























No comments:

Post a Comment

Hakikat Konsep serta Pentingnya Kesadaran dalam Perspektif Global (unm)

MAKALAH  PERSPEKTIF GLOBAL (  Hakikat dan Konsep serta Pentingnya Kesadaran dalam Perspektif Global ) ...